Jadi, gue abis nonton video yang cukup menambah insight baru buat gue, tentang The Art of Persuasion. Dan seperti biasa setiap gue abis nonton video yang menurut gue menarik, gue selalu summarize atau take a little notes. Dan karena menurut gue ini penting dan sekalian mengisi blog gue jadi sekalian gue tulis di blog aja. Kenapa sih kita butuh tahu tentang hal ini? Pada dasarnya manusia tuh selalu mencari kebenaran; kita ingin tahu banyak hal. Kita mencari kebenaran, bersama, dalam berbagai cara seperti melalui diskusi, argumentasi, filsafat, sains, dan bahkan seni. Ketika kita memiliki pandangan yang bertentangan tentang kebenaran, kita sering memasuki permainan persuasi: kita berusaha meyakinkan yang lain bahwa keyakinan yang kita pegang sebenarnya adalah kebenaran. Seni persuasi adalah hal yang penting karena - di tangan yang benar - hal ini memungkinkan kebenaran untuk memenangkan kebohongan. Disini, kita akan mengeksplorasi tiga metode persuasi (Ethos, Pathos, Logos) yang diciptakan oleh Aristoteles dalam bukunya Retorika. Perlu diingat bahwa - untuk Aristoteles - retorika adalah seni persuasi dan bukan bahasa tanpa arti yang banyak politisi gunakan. 1.Persuasion by Character or Credibility (Ethos) Umumnya, kita lebih mudah dibujuk oleh orang dapat kita percaya. Aristotles megajukan tiga hal yang seharusnya dimiliki orang agar bisa kita percayai.
2.Persuasion by Emotion (Pathos) Seorang master persuasi harus mengetahui kapan suatu emosi dibutuhkan atau tidak. Dalam video ini, sumber memberi contoh kemarahan, kita misalnya harus marah, ketika suatu hukum baru diberlakukan disaat kita tahu hukum baru tersebut berbahaya. Dan sebaliknya, kita tidak harus marah kepada sesuatu yang tidak pantas menerima kemarahan. Menempatkan seseorang pada posisi pikiran yang tenang membuat mereka lebih mendengarkan kita, Aristotles memberikan 7 Emotional Dualities. 1) Anger Vs Calm Jadi, Aristotle menggambarkan ada tiga hal yang bisa memicu seseorang untuk marah, yaitu menghina, melawan dengan dendam dan mempermalukan. Menghina atau showing contempt diartikan ketika kita memperlakukan sesuatu atau orang-orang sebagai sesuatu yang tidak penting. Act spitefully againts artinya kita menghalangi mereka mendapatkan yang mereka mau, hanya untuk menyakiti mereka. Shame them atau memermalukan mereka artinya kita mengdiskredikkan mereka dengan berbagai cara. Sedangkan, calm sebagai lawan dari anger bisa mereka dapatkan apabila kita melakukan hal-hal yang berlawanan dari 3 hal diatas. 2) Friendship Vs Hatred Kita merasakan keramahan pada orang yang merasa menginginkan yang terbaik bagi kita. Sedangkan sifat sebaliknya membuat kita merasa benci. 3) Fear Vs Confidence Kita merasa takut ketika kita mengetahui seseorang atau sesuatu memiliki kemampuan untuk menyakiti atau membuat kita menderita. Dan confidence sebaliknya, kita merasa confident ketika kita tahu tidak ada bahaya atau ketika kita tahu cara untuk mengatasinya. 4) Shame Vs Shameless Kita merasa malu ketika kita telah didiskreditkan, seperti yang dikatakan oleh Aristotle, ada beberapa kejahatan moral (morally badness) yang membuat kita merasa malu contohnya menjadi pengecut, serakah, arogan, atau jahat. Kita merasa tidak malu ketika kita tidak melakukan hal hal yang morally wrong tadi. 5) Kind Vs Unkind Orang biasanya menyebut kita baik karena kita menolong mereka. Tapi orang menyebut kita tidak baik ketika kita tidak menolong atau menolong tapi karena alasan yang egois. 6) Pity Vs Indignation Kita merasa kasihan kepada seseorang yang kita rasa tidak pantas menderita, apalagi jika jika penderitaan itu dapat menimpa kita atau seseorang yang dekat dengan kita. Di sisi lain, kita merasa jengkel ketika kita melihat seseorang menjalankan sesuatu dengan baik ketika mereka tidak pantas mendapatkannya. 7) Envy Vs Emulation Sebenernya gue agak bingung kenapa ini masuk emotional dualities, kalo yang 6 tadi di atas kan emang bertentangan ya. Sedangkan ini ngga. Envious dan emulation sama-sama perasaan yang menyakitkan. Tapi, emulation dianggap lebih baik dari envy, karena orang yang dikategorikan merasa envy berharap orang lain tidak mendapatkan keburuntungan. Sedangnkan emulation berharap dirinya mendapatkan keburuntungan. Ketika orang lain mendapatkan keberuntungan. See the difference? 3. Persuasion by Logic (Logos) Persuasion by Logic dibagi jadi 3: yaitu Deductive Argument, Inductive Argument dan Abductive Argument. Sekarang kita bahas dua yang pertama terlebih dahulu. Untuk menilai kualitas argumen, kita menanyakan seberapa baik premisnya mendukung kesimpulannya. Lebih khusus lagi, kita menanyakan apakah argumen itu secara deduktif valid (deductively valid) atau kuat secara induktif (inductively strong). Sebelum itu, kita definisiin dulu deh apa itu Deductive Argument dan Inductive Argument. 1) Deductive Argument A deductive argument is an argument that is intended by the arguer to be deductively valid, that is, to provide a guarantee of the truth of the conclusion provided that the argument's premises are true. Deductive Argument sebenernya udah pernah kita semua pelajari di SMA. Suatu argument bisa dikatakan valid apabila premisnya benar dan dan kesimpulannya benar. Dan kebenaran dari kesimpulan yang didapatkan terjamin apabila semua premisnya benar. Apabila premisnya benar, tidak mungkin kesimpulannya salah. Kemudian di dalam deductive argument ini juga ada yang disebut sound, sound adalah ketika valid argument memiliki premis yang benar. Untuk lebih jelas mengenai valid, invalid, sound dan unsound bisa dibaca disini. Contoh valid deductive argument: It's sunny in Singapore. If it's sunny in Singapore, then he won't be carrying an umbrella. So, he won't be carrying an umbrella. Kita tidak bisa menyatakan apakah argument diatas deductively sound karena kita tidak bisa menilai kebenarannya apakah di Singapore benar benar cerah atau tidak. Tapi, kita bisa tahu ini adalah contoh deductively valid. 2) Inductive Argument An inductive argument is an argument that is intended by the arguer to be strong enough that, if the premises were to be true, then it would be unlikely that the conclusion is false. Jadi, ketika premisnya cukup kuat untuk dibilang benar untuk mendukung konklusi, maka kecil kemungkinan konklusinya menjadi salah. Berbeda dengan deductive argument, kebenaran dari konklusi dari inductive argument tidak terjamin. Contoh strong indutive argument: Every time I've walked by that dog, it hasn't tried to bite me. So, the next time I walk by that dog it won't try to bite me. Argument ini bisa menjadi lebih kuat ketika kita tidak berpikir apakah 'next time' akan berbeda dari 'previous time'. Dan sebaliknya. Kekuatan sebuah inductive argument bisa dipengaruhi oleh bukti baru sedangkan deductive argument tidak bisa. Perbedaan antara deductive argument dan inductive argument pertama kali disadari oleh Aristotle. Menurutnya, perbedaan antara argumen deduktif dan induktif tidak terletak pada kata-kata yang digunakan dalam argumen, tetapi lebih pada Intentions of the Arguer. Itu berasal dari hubungan yang The Arguer ambil dari premis dan kesimpulan. If the arguer believes that the truth of the premises definitely establishes the truth of the conclusion, then the argument is deductive. If the arguer believes that the truth of the premises provides only good reasons to believe the conclusion is probably true, then the argument is inductive. Jika kita menilai kualitas argumen yang idak memiliki informasi tentang the intentions of the arguer, maka kita memeriksa keduanya. Artinya, kita menilai argumen untuk melihat apakah itu secara deductively valid atau inductively strong. 3) Abductive Argument Nah, ini cukup mudah untuk dipahami abductive argument adalah ketika kita mengumpulkan satu set data dan kemudian menentukan kesimpulan yang paling menjelaskan set data. Dengan menggunakan salah satu dari tiga argumen ini, kita bisa menjadi lebih persuasif karena orang sering diyakinkan oleh logika kuat yang mudah diikuti. Kesimpulannya, retorika penting karena membantu memenangkan kebenaran. Beberapa orang tidak dapat diyakinkan oleh fakta saja dan oleh karena itu penting untuk mengetahui cara membujuk mereka. Dengan mengetahui cara memanfaatkan karakter, emosi, dan logika kita dapat membantu membawa perubahan yang ingin kita lihat di dunia. [sumber]
[1] The 3 Methods of Persuassion: https://www.youtube.com/watch?v=y5z3zWJIthI [2] Valid and Sound: http://www.iep.utm.edu/val-snd/ [3] Deductive and Inductive: http://www.iep.utm.edu/ded-ind/
0 Comments
Leave a Reply. |