Nilai pendidikan, bagi Freire, tidak hanya untuk mencari nafkah atau menjalankan profesi tetapi juga pemberdayaan dan transformasi untuk individu itu sendiri dan komunitas. Pendidikan yang baik juga seharusnya memihak pada keadilan sosial. Beberapa waktu lalu, saya mengikuti suatu diskusi yang dilaksanakan secara online oleh @ber.dakara dan @demachibicara, hal ini bukan pertama kalinya saya mengikuti webinar yang diadakan secara prodeo, beruntungnya saya masih bisa mengikuti ini semua mengingat banyak sekali teman-teman dan saudara kita yang mugkin belum bisa mendapat kesempatan yang sama seperti saya. Pembahasan pada hari itu mulanya tentang bagaimana pandangan para pengajar muda yang berkesempatan mengajar ke pelosok desa tentang pendidikan, namun diskusi tidak hanya berkutat pada pengalaman-penglaman mereka mengabdi namun berujung pada diskusi dua arah bagaimana pendidikan seharusnya. Ini yang membuatnya menarik. Sepertinya saya adalah minoritas yang tidak memiliki background pendidikan atau relasi tertentu terhadap pendidikan selain penempuh pendidikan, audiens lainnya sangat erat relasinya dengan dunia pendidikan, baik yang meneliti pendidikan, magister di bidang pendidikan, maupun memiliki pengalaman perihal mendidik. Setidaknya ada dua poin penting yang saya dapat dari diskusi hari itu. 1. To educate is to liberate Hal ini disampaikan oleh seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia, Paulo Freire, dalam salah satu tulisannya Pedagogy of The Opressed. Diskusi ini juga sedikit banyak menjawab pertanyaan saya tentang apa itu fungsi utama dari pendidikan. Sebelum kesana, saya ingin mencuplik pemikiran Paulo Freire, tentunya di dalam bukunya jauh lebih banyak dari ini, yang mungkin akan saya bahas terpisah, tapi disini saya bahas tiga poin yang menurut saya penting. Kesempatan yang sama untuk pendidikan Freire memandang masyarakat sebagai sistem yang dinamis dan terus berkembang yang didominasi oleh kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri, terkadang dengan sengaja atau tidak sengaja, menindas, menciptakan struktur sosial, institusi, ide, dan kepercayaan yang menguntungkan kekayaan, cara hidup, dan kekuasaan penindas (the oppressor). Ini semua datang dengan mengorbankan yang tertindas (the oppressed). Di buku ini Freire menyebut orang yang memiliki kekuasaan dan menghambat kebebasan adalah penindas, yang kebebasannya diambil adalah yang tertindas. Dan orang bisa saja menjadi penindas serta yang tertindas dalam sistem yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Sebagai contoh, seorang anak (the oppressed) dilahirkan dari keluarga yang tidak memiliki kekayaan, dan kemampuannya untuk mendapatkan kekayaan sangat tergantung pada investasi publik terhadap pendidikannya (adanya pendidikan yang accessible), sumber daya keluarganya, dan kerja kerasnya sendiri (sedangkan mereka yang dari sudah sejahtera seringkali tidak membutuhkan itu semua untuk mendapat kekayaan). Hal ini memberikan gambaran, ada semacam tatanan yang memilih kapitalisme dan individualisme, dan pada tingkat yang lebih rendah, baru memperdulikan pendidikan publik. Contoh lainnya misalnya pada institusi pendidikan seperti universitas, penindas (the oppressor) punya kekuasaan atau tanggung jawab untuk memutuskan siapa yang menerima peluang untuk belajar dan siapa yang tidak. Keputusan-keputusan ini secara inheren tidak adil — idealnya, setiap anak di universitas berhak untuk mempelajari apa yang mereka inginkan — tetapi cita-cita ini terkikis karena kurangnya kemauan institusional, untuk mengoreksi sumber daya keuangan, ruang, dan waktu yang diperlukan untuk melayani setiap siswa. Penindasan ini — ketidakmampuan siswa untuk mempelajari apa yang mereka inginkan — membatasi peluang bagi anak anak yang tertindas itu tadi. Kesadaran Kritis Freire juga berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk memberdayakan yang tertindas adalah dengan mengembangkan kesadaran kritis mereka, membantu mereka melihat dinamika situasi yang mereka hadapi mereka dan bagaimana sebuah kekuasaan memiliki peranan di dalamnya. Freire berpendapat bahwa kesadaran akan "situasi terbatas" ini, dan penilaian kritis masing-masing individu atas situasi pada kehidupan mereka, adalah kunci untuk mengenali dan menerima kemanusiaan mereka sendiri, dan untuk menghasilkan motivasi besar yang diperlukan untuk melakukan perubahan melalui tindakan kolektif. Freire juga sadar kesadaran kritis itu tidak mudah untuk ditanamkan. Bahkan, ia sangat percaya bahwa sebagian besar bentuk pendidikan yang ada saat ini — melakukan sebaliknya (tidak mengajarkan kesadaran kritis). Pendidikan adalah proses orang menemukan diri mereka sebagai agen kreatif dan menjadi lebih manusiawi. Nilai pendidikan, bagi Freire, tidak hanya untuk mencari nafkah atau menjalankan profesi tetapi juga pemberdayaan dan transformasi untuk individu itu sendiri dan komunitas. Pendidikan yang baik juga seharusnya memihak pada keadilan sosial. Padagogi Kritis Pendidikan terbaik adalah ketika yang dididik terlibat aktif, bukan melihat atau mendengar secara pasif. Pendidikan yang baik mengajarkan individu bagaimana menyelesaikan masalah dan lebih terlibat dengan masyarakat mereka. Siswa harus menjadi penanya yang aktif – juga aktif dalam praktik dan dialog. Diskusi adalah bagian penting dari pendidikan. Freire terutama menekankan pentingnya bagi siswa untuk dimasukkan sebagai peserta diskusi yang setara. Beberapa model dan teori pedagogis kita mengaburkan pemikiran ini. Terlalu sering, pendidikan dilakukan dengan satu dosen berbicara kepada lusinan atau ratusan siswa. Sebagai contoh, sebagai mahasiswa sains, saya jarang diberi kesempatan untuk berdiskusi atau berdialog dengan dosen di kelas, seringkali kita hanya duduk selama 2 jam kuliah tanpa mendapat kesempatan diskusi dua arah. Saya mengamati betapa jarangnya dialog yang terjadi antara dosen dengan mahasiswa, dan seringkali yang terjadi adalah dialog dengan cara transaksional yang terbatas. Adapun aspek-aspek yang turut menentukan pemahaman terhadap suatu konteks pembicaraan meliputi tiga hal: (1) prasuposisi, (2) implikatur, (3) infrensi. Prasuposisi melihat siswa sebagai manusia setara yang layak mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat. Namun, bukan berarti berpikir semua siswa tahu sebanyak guru. Hal tersebut tentunya akan kontra-produktif. Namun, hal tersebut berarti memberdayakan siswa untuk belajar. Ini berarti melihat pendidikan sebagai proses memfasilitasi praktik dan refleksi kritis. Ketika orang dilibatkan dalam proses pendidikan, mereka diberdayakan untuk belajar. 2. Pentingnya pendidikan kontekstual Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan konteks ke permasalahan konteks lainnya. Pemahaman ini saya dapatkan saat saya menonton film yang diproduksi oleh Miles Films berjudul Sokola Rimba yang juga diangkat oleh sebuah buku karya Butet Manurung. Menurutnya, pendidikan bukanlah proses alienasi seseorang dan lingkunganya, atau dari potensi alamiah dan bakat bawaannya, melainkan proses pemberdayaan potensi dasar yang alamiah bawaan untuk menjadi benar-benar aktual secara positif bagi dirinya dan sesamanya. Hal ini sering kali disinggung dalam diskusi dalam konteks saat pengajar muda dari kota mengajar di desa, orang kota sering kali menyamakan cita-cita orang desa, profesi impian, kebutuhan pembelajaran orang desa dengan orang kota. Sering kali orang kota datang ke desa dengan misi memodernisasi. Hal tersebut tentunya kurang tepat. Misalnya rumah yang nyaman bagi orang desa berbeda versinya dengan orang kota, dan kebutuhan pembelajaran juga berbeda, mungkin mereka lebih membutuhkan pembelajaran tentang bertahan hidup seperti pemahaman tentang hutan, bercocok tanam, atau ilmu konservasi alam di banding yang lain. Buku pendidikan juga seringkali tidak bersifat kontekstual, buku bahasa indonesia anak SD yang memuat moda transportasi becak, disaat orang desa lebih mengenal tentang moda transportasi lainnya. Pendidikan kontekstual menekankan penyesuaian dengan kondisi riil dan kebutuhan masing-masing. Saat ini sistem pendidikan menggunakan standard secara merata tanpa melihat kondisi-kondisi yang ada di lapangan, termasuk kondisi sosial budaya setempat. Butet Manurung juga pernah mengatakan bahwa ia menolak bentuk rasa kasihan yang orang kota berikan kepada orang desa. Saya juga pernah mendengar sebuah kalimat: orang desa tidak butuh rasa kasihan tapi butuh kesempatan. Termasuk menentukan hidup yang ideal versi mereka tanpa harus disamakan dengan orang kota. Dan yang terakhir, salah seorang di dalam diskusi tersebut juga mengatakan,”Ketika lo udah nanya ke anak didik, mau jadi pilot atau petani, dan mereka jawab petani. Lo sudah berhasil mendidik mereka, karena fungsi utama dari pendidikan adalah memberikan pilihan, dan ketika mereka sudah secara sadar memilih. Disitu lo sudah berhasil. To educate is to liberate." “When education is not liberating, the dream of the opressed is to become the oppressor.”
0 Comments
Menurut essay yang dibuat oleh penulis Freedom in Thought, psychological trait yang biasanya dimiliki oleh individu sukses adalah Growth Mindset. Hal ini juga disetujui oleh Bill Gates dan NASA untuk menyeleksi kandidat potensial. Terms Growth Mindset ini pertama kali diperkenalkan oleh Carol Dweck dalam bukunya yang berjudul Mindset. Berdasarkan bukunya, dia merumuskan bahwa manusia dikategorikan menjadi dua tipe yang berbeda, yaitu yang memiiki Growth Mindset dan Fixed Mindset Growth Mindset Atau dengan kata lain individu yang memiliki mindset ini percaya bahwa kecerdasan atau keahlan, di segala bidang dapat diraih melalui usaha. Pada dasarnya mereka percaya bahwa setiap individu bisa mengembangkan kemampuannya di segala hal. Fixed Mindset Sedangkan individu yang memiliki Fixed Mindset ini percaya bahwa kecerdasan dan keahlian adalah bawaan dari lahir, atau sesuatu yang kita peroleh sejak lahir. Tidak ada ruang untuk perubahan. Secara garis besar hal tersebut merupakan definisi dari Growth Mindset dan Fixed Mindset. Selanjutnya kita akan mencari tau, manakah mindset yang lebih baik? Dan bagaimana cara mengembangkan mindset tersebut? A. Growth MindsetSeseorang yang memiliki Growth Mindset memiliki pemikiran bahwa kecerdasan dan skill, di segala bidang bisa dikembangkan. Mindset atau cara berpikir adalah lensa untuk melihat dunia dan cara berpikir ini dapat meningkatkan probabilitas seorang manusia dalam meraih kesuksesannya. Kita semua merupakan gabungan dari Growth Mindset dan Fixed Mindset. Dalam beberapa bagian dalam hidup kita, kita seringkali menggunakan Growth Mindset. Di area lainnya kita menggunakan Fixed Mindset. Karenanya, penulis di video ini menyuruh kita untuk berpikir tentang kedua mindset tersebut seperti sepasang kacamata. Sebagian individu menggunakan Growth Mindset lebih sering dari yang lainnya dan sebagian lainnya menggunakan kacamata Fixed Mindset lebih sering dari yang lainnya. Bagaimanapun kita menggunakan keduanya di dalam situasi yang berbeda, Namun, penulis menyatakan bahwa kita harus lebih sering menggunakan Growth Mindset daripada Fixed Mindset, mengapa? Akan dibahas setelah ini! B. Why is the Growth Mindset Important?Banyak riset menunjukkan bahwa seseorang dengan Growth Mindset lebih sukses dibanding seseorang yang memiliki Fixed Mindset. Contohnya, sebuah studi menunjukan: “Students who held a Growth Mindset were three times more likely to score in the top 20% on the test, while students with a Fixed Mindset were four times more likely to score in the bottom 20%. [3]mindsetscholarsnetwork.org/wp-content/uploads/2015/09/What-We-Know-About-Growth-Mindset.pdf Individu dengan Growth Mindset dikenal sebagai individu yang jauh lebih resilient atau dengan kata lain tangguh yang mampu menghadapi keadaan yang sulit dan menantang. Hal tersbeut disebbabkan karena mereka memprioritaskan proses pembelajaran diatas kegagalan, mereka tidak takut terhadap resiko. Mereka memprioritaskan pertumbuhan di banding stagnansi. Dilain hal, individu dengan Fixed Mindset tidak ingin menantang diri mereka sendiri karena mereka percaya bahwa bakat dan kecerdasan adalah sebuah ketetapan, mereka melihat kegagalan sebagai serangan. Bagi mereka, kurangnya pengetahuan adalah indikator kebodohan dan kegagalan sekaligus berarti kegagalan yang akan terjadi terus menerus. Individu dengan Growth Mindset percaya bahwa mereka selalu dalam keadaan yang selalu berubah dan bertransformasi, hal tersebut menyebabkan mereka tidak menggantungkan atau melekatkan identitas mereka terhadap hasil yang mereka peroleh melainkan mereka memfokuskan diri pada proses pengembangan dan pembelajaran. Sedikit dari individu yang akan menyangkal bahwa Growth Mindset tampaknya fit nicely ke dalam realita. Kita semuamengetahui bahwa otak bisa terus belajar hingga hari dimana kita mati, hal itu ditemukan oleh neuroscience. Hal tersbut juga tampak intuitive bahwa individu harus bekerja keras dan gigh, walaupun terdapat hambatan, untuk akhirnya meraih kesuksesan. Maka, Growth Mindset terlihat lebih akurat dalam melihat realita dibandingkan dengan Fixed Mindset. Individu dengan Growth Mindset hidup dengan kesesuaian dengan kenyataan daripada individu-individu dengan Fixed Mindset. Mereka dapat membuat keputusan yang lebih benar sebagai individu dibandingkan dengan Fixed Mindset. Penulis essay pada video tersebut memberi contoh: Bayangkan dua orang pengusaha: yang satu memiliki Growth Mindset dan yang staunya lagi memiliki Fixed Mindset. Mereka berdua berada dalam tahap awal perjalanan karir entrepeneur, mereka berdua sama sama menghadapi hambatan dan dipaksa untuk membuat keputusan. Individu dengan Fixed Mindset melihat perjalanan di depannya itu panjang dan sulit karena adanya hambatan. Perjalanan itu menghalangi apa yang penting baginya: hasil. Dia percaya bahwa kewirausahaan harus mudah bagi mereka yang ditakdirkan untuk itu. Maka, karena ia memiliki pemikiran seperti itu, dia memutuskan untuk berhenti. Individu dengan Growth Mindset melihat perjalanan panjang dan sulit di depannya itu dan tersenyum. Perjalanan itu dianggapnya sebagai sebuah jalan baginya; perjalanan adalah yang terpenting. Ia akan mengambil peran sebagai orang yang mau belajar, ia menerima jalan yang panjang dan sulit sebagai gurunya. Dia akan membiarkan perjalanan itu membentuk dia menjadi individu yang dia inginkan, untuk mencapai hasil yang diinginkannya. Maka, karena ia memiliki pemikiran seperti itu, dia memutuskan untuk bertahan. Ketika kita melihat kedua contoh ini, kebanyakan dari kita akan setuju bahwa pengusaha dengan Growth Mindset memiliki pemahaman yang lebih besar tentang kenyataan. Keputusannya lebih benar. Kita tahu bahwa hal-hal membutuhkan waktu, upaya, dan strategi untuk mencapainya, tetapi seringkali sulit untuk menerapkan pemikiran semacam itu dalam praktik. Jadi, bagaimana kita bisa mengembangkan Growth Mindset? C. How do you Develop a Growth Mindset?
1. Understand it Kunci pertama untuk mengembangkan Growth Mindset sebenarnya sangat sederhana: memahami bahwa itu ada dan dan percaya bahwa otak berubah.. Neuroscience telah menunjukkan bahwa otak kita tidak tetap, dan, pada kenyataannya, mereka sangat mudah dibentuk. Kita akan selalu dapat tumbuh dan mempelajari keterampilan baru. 2. Focus on Process over Results Kunci kedua adalah fokus pada proses daripada hasil. Dweck mengatakan bahwa kita harus memuji orang lain atas upaya dan proses mereka, daripada memuji mereka untuk hasil mereka. Misalnya, lebih baik mengatakan, "Kamu belajar dengan sangat efektif untuk ujian itu dan kerja kerasmu benar-benar terbayar," daripada, "Kamu sangat pintar, kamu mendapat nilai A!" Dalam contoh sebelumnya, kita berfokus dan memuji proses siswa yang merupakan sesuatu yang dapat mereka kontrol. Harapannya, mereka akan belajar mengaitkan diri dan hasil mereka dengan proses. Namun, dalam contoh terakhir kita memuji siswa untuk hasil yang, pada akhirnya, di luar kendali mereka. Maka, siswa ini kemungkinan akan mulai mengasosiasikan diri dengan hasilnya. Penulis berpikir hal tersebut sangat penting untuk menekankan bahwa tidak mudah untuk memberi tahu Growth Mindset kepada orang lain. Tidak sesederhana memberi tahu seseorang bahwa mereka adalah pekerja keras dan bahwa mereka hanya perlu melakukan upaya atau berusaha. Mereka perlu menginternalisasi bahwa mereka dapat mengubah hasil mereka dengan mengubah proses mereka. Jadi, mereka perlu tahu cara membuat proses secara efektif, mengubahnya, dan menghasilkan hasil dari proses itu. Penulis memberikan dua solusi untuk mengembangkan Growth Mindset a. Journaling Pilih aktivitas yang ingin kita kuasai dengan baik. (Ingat, kita tidak bisa mengembangkan Growth Mindset dalam segala hal.) Misalnya, katakanlah seseorang ingin menjadi pandai matematika. Dalam jurnal, seseorang akan menuliskan proses belajar matematika. Orang itu akan membuat daftar langkah-langkah dan menulis sesuatu yang bisa di kuantisasi atau diukur untuk membantunya mencapai targetnya. Misalnya, proses mungkin terlihat seperti ini:
Selanjutnya, proses evaluasi dilakukan terhadap sistem yang telah dibuat. Katakanlah penulis sedang mencari nilai 80% atau lebih tinggi pada ujian berikutnya. Ketika orang tersebut memperoleh nilai ujiannya, ia membandingkannya dengan tujuannya. Jika lebih tinggi, ia bisa menyimpulkan bahwa sistem yang telah ia buat berfungsi. Ia juga mengatakan ia dapat merubah dan melihat apakah ada yang bisa diperbaiki atau dioptimalkan dari sistem yang ia bangun, misalnya dengan cara memeperbanyak waktu untuk latihan soal dan mengurangi waktu membaca textbook. Namun, jika nilai yang didapatkan kembali lebih rendah, maka kita perlu menelaah kembali dan memperbaiki proses atau sistem yang telah dibuat. Metode journaling ini berisi rangkaian menciptakan proses, dan memperbaikinya sampai hasil yang diinginkan tercapai akan membantu meningkatkan Growth Mindset. Karena hal tersebut membuat pikiran kita fokus pada proses yang bisa diubah. Hasilnya diukur dan diperhatikan hanya sebagai indikator seberapa baik proses tersebut bekerja. The process will say nothing about you. Prosesnya selalu dapat diperbaiki. Terkadang sesuatu yang gagal bukan berarti itu tidak berfungsi, mungkin itu hanya belum berfungsi. b. Asking an advice Ide lainnya adalah meminta saran dari teman dan guru. Temukan individu yang tepat, individu yang tepat yang dimaksud adalah mereka yang berada di posisi yang sama dengan kita atau mereka yang telah melakukan apa yang kita coba lakukan. Tanyakan kepada mereka tentang proses mereka dan lihat bagaimana tindakan kita. Kita mungkin menemukan hal-hal yang mereka lakukan, atau telah lakukan, yang ingin kita adopsi ke dalam proses kita. Baca buku tentang orang yang kita kagumi. Kemudian kita bisa menemukan detail tentang proses mereka yang dapat adaptasi ke dalam proses kita sendiri 3. Do Challenging Things Terakhir, lakukan hal-hal yang menantang in a good way. Untuk memiliki kesempatan mengembangkan Growth Mindset, kita harus melangkah keluar dari zona nyaman kita. Individu yang tidak meninggalkan zona nyaman mereka cenderung mulai percaya bahwa kesuksesan mereka adalah karena bakat bawaan, karena semuanya datang begitu mudah bagi mereka. Sebagai contoh, seorang siswa yang tidak pernah merasa kesulitan di sekolah akan mulai percaya bahwa mereka memang cerdas secara bawaan. "Saya mendapatkan nilai A, oleh karena itu saya pintar." kata mereka. Hasilnya sangat mudah diperoleh bagi mereka, sehingga mereka bahkan tidak memikirkan prosesnya. Sayangnya, semua yang mereka lihat adalah hasilnya dan melekatkan diri mereka dengan hasil. Jadi ketika mereka, mendapat nilai buruk, mereka akan berpikir bahwa mereka bodoh, karena mereka mengasosiasikan diri mereka dengan hasil. Mereka kehilangan kepercayaan pada diri mereka sendiri karena mereka tidak mendapatkan hasil yang biasa mereka terima dengan mudah. Di sisi lain, pergi keluar dari zona nyaman, akan memaksa kita untuk mengadopsi Growth Mindset untuk menghindari kehancuran karena merasa terbebani oleh kesulitan. Kita juga harus fokus dan menyesuaikan proses, karena kita tidak mungkin mencapai hasil yang kita inginkan hanya dengan berada di dalam zona nyaman kita saat ini. Dibutuhkan banyak upaya untuk berkembang dan akan selalu menjadi perjuangan untuk menghindari jatuh ke dalam Fixed Mindset. “…the path to a growth mindset is a [lifelong] journey, not a proclamation.” Jadi, gue abis nonton video yang cukup menambah insight baru buat gue, tentang The Art of Persuasion. Dan seperti biasa setiap gue abis nonton video yang menurut gue menarik, gue selalu summarize atau take a little notes. Dan karena menurut gue ini penting dan sekalian mengisi blog gue jadi sekalian gue tulis di blog aja. Kenapa sih kita butuh tahu tentang hal ini? Pada dasarnya manusia tuh selalu mencari kebenaran; kita ingin tahu banyak hal. Kita mencari kebenaran, bersama, dalam berbagai cara seperti melalui diskusi, argumentasi, filsafat, sains, dan bahkan seni. Ketika kita memiliki pandangan yang bertentangan tentang kebenaran, kita sering memasuki permainan persuasi: kita berusaha meyakinkan yang lain bahwa keyakinan yang kita pegang sebenarnya adalah kebenaran. Seni persuasi adalah hal yang penting karena - di tangan yang benar - hal ini memungkinkan kebenaran untuk memenangkan kebohongan. Disini, kita akan mengeksplorasi tiga metode persuasi (Ethos, Pathos, Logos) yang diciptakan oleh Aristoteles dalam bukunya Retorika. Perlu diingat bahwa - untuk Aristoteles - retorika adalah seni persuasi dan bukan bahasa tanpa arti yang banyak politisi gunakan. 1.Persuasion by Character or Credibility (Ethos) Umumnya, kita lebih mudah dibujuk oleh orang dapat kita percaya. Aristotles megajukan tiga hal yang seharusnya dimiliki orang agar bisa kita percayai.
2.Persuasion by Emotion (Pathos) Seorang master persuasi harus mengetahui kapan suatu emosi dibutuhkan atau tidak. Dalam video ini, sumber memberi contoh kemarahan, kita misalnya harus marah, ketika suatu hukum baru diberlakukan disaat kita tahu hukum baru tersebut berbahaya. Dan sebaliknya, kita tidak harus marah kepada sesuatu yang tidak pantas menerima kemarahan. Menempatkan seseorang pada posisi pikiran yang tenang membuat mereka lebih mendengarkan kita, Aristotles memberikan 7 Emotional Dualities. 1) Anger Vs Calm Jadi, Aristotle menggambarkan ada tiga hal yang bisa memicu seseorang untuk marah, yaitu menghina, melawan dengan dendam dan mempermalukan. Menghina atau showing contempt diartikan ketika kita memperlakukan sesuatu atau orang-orang sebagai sesuatu yang tidak penting. Act spitefully againts artinya kita menghalangi mereka mendapatkan yang mereka mau, hanya untuk menyakiti mereka. Shame them atau memermalukan mereka artinya kita mengdiskredikkan mereka dengan berbagai cara. Sedangkan, calm sebagai lawan dari anger bisa mereka dapatkan apabila kita melakukan hal-hal yang berlawanan dari 3 hal diatas. 2) Friendship Vs Hatred Kita merasakan keramahan pada orang yang merasa menginginkan yang terbaik bagi kita. Sedangkan sifat sebaliknya membuat kita merasa benci. 3) Fear Vs Confidence Kita merasa takut ketika kita mengetahui seseorang atau sesuatu memiliki kemampuan untuk menyakiti atau membuat kita menderita. Dan confidence sebaliknya, kita merasa confident ketika kita tahu tidak ada bahaya atau ketika kita tahu cara untuk mengatasinya. 4) Shame Vs Shameless Kita merasa malu ketika kita telah didiskreditkan, seperti yang dikatakan oleh Aristotle, ada beberapa kejahatan moral (morally badness) yang membuat kita merasa malu contohnya menjadi pengecut, serakah, arogan, atau jahat. Kita merasa tidak malu ketika kita tidak melakukan hal hal yang morally wrong tadi. 5) Kind Vs Unkind Orang biasanya menyebut kita baik karena kita menolong mereka. Tapi orang menyebut kita tidak baik ketika kita tidak menolong atau menolong tapi karena alasan yang egois. 6) Pity Vs Indignation Kita merasa kasihan kepada seseorang yang kita rasa tidak pantas menderita, apalagi jika jika penderitaan itu dapat menimpa kita atau seseorang yang dekat dengan kita. Di sisi lain, kita merasa jengkel ketika kita melihat seseorang menjalankan sesuatu dengan baik ketika mereka tidak pantas mendapatkannya. 7) Envy Vs Emulation Sebenernya gue agak bingung kenapa ini masuk emotional dualities, kalo yang 6 tadi di atas kan emang bertentangan ya. Sedangkan ini ngga. Envious dan emulation sama-sama perasaan yang menyakitkan. Tapi, emulation dianggap lebih baik dari envy, karena orang yang dikategorikan merasa envy berharap orang lain tidak mendapatkan keburuntungan. Sedangnkan emulation berharap dirinya mendapatkan keburuntungan. Ketika orang lain mendapatkan keberuntungan. See the difference? 3. Persuasion by Logic (Logos) Persuasion by Logic dibagi jadi 3: yaitu Deductive Argument, Inductive Argument dan Abductive Argument. Sekarang kita bahas dua yang pertama terlebih dahulu. Untuk menilai kualitas argumen, kita menanyakan seberapa baik premisnya mendukung kesimpulannya. Lebih khusus lagi, kita menanyakan apakah argumen itu secara deduktif valid (deductively valid) atau kuat secara induktif (inductively strong). Sebelum itu, kita definisiin dulu deh apa itu Deductive Argument dan Inductive Argument. 1) Deductive Argument A deductive argument is an argument that is intended by the arguer to be deductively valid, that is, to provide a guarantee of the truth of the conclusion provided that the argument's premises are true. Deductive Argument sebenernya udah pernah kita semua pelajari di SMA. Suatu argument bisa dikatakan valid apabila premisnya benar dan dan kesimpulannya benar. Dan kebenaran dari kesimpulan yang didapatkan terjamin apabila semua premisnya benar. Apabila premisnya benar, tidak mungkin kesimpulannya salah. Kemudian di dalam deductive argument ini juga ada yang disebut sound, sound adalah ketika valid argument memiliki premis yang benar. Untuk lebih jelas mengenai valid, invalid, sound dan unsound bisa dibaca disini. Contoh valid deductive argument: It's sunny in Singapore. If it's sunny in Singapore, then he won't be carrying an umbrella. So, he won't be carrying an umbrella. Kita tidak bisa menyatakan apakah argument diatas deductively sound karena kita tidak bisa menilai kebenarannya apakah di Singapore benar benar cerah atau tidak. Tapi, kita bisa tahu ini adalah contoh deductively valid. 2) Inductive Argument An inductive argument is an argument that is intended by the arguer to be strong enough that, if the premises were to be true, then it would be unlikely that the conclusion is false. Jadi, ketika premisnya cukup kuat untuk dibilang benar untuk mendukung konklusi, maka kecil kemungkinan konklusinya menjadi salah. Berbeda dengan deductive argument, kebenaran dari konklusi dari inductive argument tidak terjamin. Contoh strong indutive argument: Every time I've walked by that dog, it hasn't tried to bite me. So, the next time I walk by that dog it won't try to bite me. Argument ini bisa menjadi lebih kuat ketika kita tidak berpikir apakah 'next time' akan berbeda dari 'previous time'. Dan sebaliknya. Kekuatan sebuah inductive argument bisa dipengaruhi oleh bukti baru sedangkan deductive argument tidak bisa. Perbedaan antara deductive argument dan inductive argument pertama kali disadari oleh Aristotle. Menurutnya, perbedaan antara argumen deduktif dan induktif tidak terletak pada kata-kata yang digunakan dalam argumen, tetapi lebih pada Intentions of the Arguer. Itu berasal dari hubungan yang The Arguer ambil dari premis dan kesimpulan. If the arguer believes that the truth of the premises definitely establishes the truth of the conclusion, then the argument is deductive. If the arguer believes that the truth of the premises provides only good reasons to believe the conclusion is probably true, then the argument is inductive. Jika kita menilai kualitas argumen yang idak memiliki informasi tentang the intentions of the arguer, maka kita memeriksa keduanya. Artinya, kita menilai argumen untuk melihat apakah itu secara deductively valid atau inductively strong. 3) Abductive Argument Nah, ini cukup mudah untuk dipahami abductive argument adalah ketika kita mengumpulkan satu set data dan kemudian menentukan kesimpulan yang paling menjelaskan set data. Dengan menggunakan salah satu dari tiga argumen ini, kita bisa menjadi lebih persuasif karena orang sering diyakinkan oleh logika kuat yang mudah diikuti. Kesimpulannya, retorika penting karena membantu memenangkan kebenaran. Beberapa orang tidak dapat diyakinkan oleh fakta saja dan oleh karena itu penting untuk mengetahui cara membujuk mereka. Dengan mengetahui cara memanfaatkan karakter, emosi, dan logika kita dapat membantu membawa perubahan yang ingin kita lihat di dunia. [sumber]
[1] The 3 Methods of Persuassion: https://www.youtube.com/watch?v=y5z3zWJIthI [2] Valid and Sound: http://www.iep.utm.edu/val-snd/ [3] Deductive and Inductive: http://www.iep.utm.edu/ded-ind/ Jadi, waktu awal tahun 2018 gue punya resolusi dan komitmen terhadap diri sendiri kalau umur gue udah 20 tahun gue mau lebih peduli dengan masyarakat dan lingkungan. Entah sekecil apapun dampak yang bisa gue kasih. Intinya gue mau bergerak.
Peduli dengan masyarakat gue coba wujudkan dengan mendaftar di divisi yang berhubungan dengan masyarakat di himpunan sampai gue harus merelakan tawaran untuk menjadi Kepala Divisi Intrakampus I don’t dont know it might sound silly to you, but it is sacrifice, isn’t it? Kemudian, di bidang lingkungan, menurut gue buang sampah pada tempatnya adalah campaign yang sudah terlampau old school. Buang sampah pada tempatnya menurut gue adalah sebuah kewajiban bukan hal yang spesial. Dan berhubungan 5 juni kemarin adalah hari lingkungan hidup sedunia dimana fungsinya meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan lingkungan yang positif bagi perlindungan alam dan planet Bumi. Maka gue mau mulai hidup zero waste living dan mau share beberapa hal ini, I don't want to bragging or anything. Ini purely mau sharing aja dan membuat kita more concius about our own environment. Step #1 I’m already using Ecosia (sync link) for almost 5 months since january. Jadi, Ecosia itu adalah search engine, sama kaya google or bing. Tapi, bedanya adalah kamu bisa berkontribusi untuk menanam pohon selama kamu menggunakan Ecosia. Cara kerja Ecosia begini kamu jadiin Ecosia jadi search engine kamu, kemudian Ecosia mendapat income dari ads, nah 80% dari profit mereka, mereka sumbangkan buat menanam pohon di seluruh dunia. Setiap 45 kali kamu pake Ecosia untuk search, artinya kamu menanam 1 pohon di bumi ini. Menurut gue ini adalah konsep yang sangat menarik, we can doing something good with what we would normally do with the internet. Step #2 Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot the rest: pake sesuatu yang bisa mengurai dalam waktu cepat Step #3 Don’t use plastic. Just don't. C’mon its 2018, and if you’re still don’t know about the danger of plastic and continuously use them, you better find another planet to live in. Plastic needs 1000 years to break down. instead of using plastic bag use no plastic at all or canvas bag. Don’t bring home extra plastic. Gue biasanya menolak plastik kalo lagi beli apapun gue mending bawa tas gede yang sekalian bisa masuk barang. Step #4 Instead of using a one-time disposable plastic straw, you can either use an acrylic or steel straw instead. Step #5 Instead of buying disposable plastic water bottles, use reusable water bottle. Step #6 Instead of using disposable utensil, use portable utensils made out of stainless steel or bamboo Step #7 Using cruelty-free OR vegan make up products. Jadi cruelty-free itu adalah label untuk produk yang dalam proses testingnya ngga membunuh atau menyakiti hewan. Gue juga belom sepenuhnya cruelty-free karena masih sangat susah nyari make up products yang cruelty-free. I’m trying, at least. Step #8 Over 4.7 billion plastic tootbrushes that will never biodegrade are dumped in landfills and oceans each year. kalau kita ganti ke bamboo tooth brush itu bakal make huge an impact karena dia biodegradable and composatable. Step #9 For your information, kita sebagai cewe umumnya bisa ngabisin 240 tampoons atau pembalut dalam setahun. Dan sebenernya solusinya udah ada menstrual cup made by sillicon dan bisa dicuci dan bahkan bisa bertahan sampai 10 tahun. Bayangin berapa banyak tampoons yang bisa kita kurangin. Or you can use cotton pads too! Intinya, hidup zero waste living itu adalah sebuah perjalanan. all that matters is that you're becoming aware, more conscious of the environment. Jangan di judge ya temen-temennya ketika temen kamu mencoba untuk hidup less-waste, the first step is awareness. so, lets create non-judgemental environment, dan juga jangan ngejudge orang orang yang who aren’t aware of this lifestyle karena gue percaya semua orang punya concernnya masing-masing. Click here to edit Seperti yang saya lakukan di semester kemarin, di penghujung semester 3 ini saya akan menceritakan perjalanan akademik saya yang tidak layak saya sebut baik. Sebenarnya semua argument yang akan saya utarakan disini purely dari kegelisahan dan apa yang saya rasakan selama ini. Apabila saya salah, mohon dibenarkan.
Kegelisahan ini timbul pada mata kuliah Senyawa Organik Monofungsi, sejujurnya mata kuliah ini adalah ruang dimana saya menghabiskan effort lebih saya di banding mata kuliah yang lain. Di mata kuliah ini saya membaca textbook disaat beberapa teman saya yang lain tidak. Oke agar tulisan saya lebih terstruktur saya akan membagi menjadi beberapa poin. Kegelisahan saya Awalnya, saya merasa sangat sangat down menerima indeks yang tidak cukup baik pada mata kuliah ini. Meskipun tidak mengulang, tapi saya merasa saya layak mendapatkan yang lebih baik dari apa yang saya dapatkan. Karena mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah yang saya menikmati proses dalam mempelajarinya dan saya hampir tidak pernah tidak masuk. Bisa di bilang ini adalah mata kuliah wajib satu-satunya di Kimia yang saya baca textbook, karena textbooknya sangat mudah dipahami bagi saya. Metode belajar saya dengan membaca semua bab yang tercantum di SAP kemudian mengerjakan latihan soal dan mencari kunci jawabannya di buku Solution Manual-nya, hal tersebut saya terapkan dahulu ketika saya belajar Kalkulus dan itu cukup membantu saya. Saya merasa saya cukup berlatih dalam mata kuliah ini. Namun, saya merasa effort yang saya keluarkan tidak sebanding dengan apa yang tertera di hasil, di banding teman-teman saya, yang saya yakin tidak belajar secara utuh dari textbook hanya dari orang ke orang mendapatkan indeks yang jauh lebih bagus dari saya. Saya kenal dengan beberapa teman yang h-1 ujian hanya belajar dari satu orang dan mengandalkan hafalan saja tanpa pemahaman yang mendalam tapi memperoleh hasil yang lebih baik. Penyebab kegagalan saya Saya ingat betul h-1 ujian 2 SOM konsentrasi saya terpecah karena pemira dan ujian, karena hari itu pemira sedang hangat-hangatnya di bicarakan hingga ke telinga alumni, pertanyaan yang masuk ke saya perihal keberlanjutan pemira saat itu juga cukup banyak, dan bahkan saya sendiri saat itu masih belum tahu kondisi panitia sedang aktif atau di nonaktifkan. Intinya hal itu cukup menganggu konsentrasi saya, akhirnya dari 6 bab atau 5 bab yang diujikan saya tidak membaca 2 bab secara utuh namun 1 bab nya saya pernah baca secara utuh di awal perkuliahan, 1 bab nya lagi saya hanya loncat-loncat ke poin penting sisa bab nya saya yakin saya menguasai secara utuh. Dan saya sudah lost di 2 bab itu tadi. Alhasil ketika ujian, saya lost di soal-soal tentang kedua bab tersebut yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. Namun sisanya saya yakin menjawab dengan benar. Tentunya, saya hanya bisa meyalahkan diri saya. Penarikan kesimpulan Kemudian dengan kesotoyan pribadi saya melakukan beberapa kesimpulan, saya merasa soal-soal yang di ujikan pada mata kuliah ini hanya menuntut hafalan tidak menuntut pemahaman, saya berani beradu apabila saya dengan teman saya yang indeksnya A tapi hanya belajar dari hafalan pasti pemahaman saya akan lebih dibandingkan teman saya. Dan akan sangat tidak adil apabila suatu mata kuliah hanya menilai dari hasil akhir tapi tidak menilai seluruh prosesnya. Kemudian setelah berdiskusi dengan teman saya yang membaca textbook juga mendapat indeks yang bagus kita mendiskusikan beberapa hal, kalau sistemnya selalu seperti ini mungkin kita bisa menyelesaikan semua ujian tapi kita belum tentu bisa menciptakan paper yang bagus kedepannya, terkadang ujian tidak menentukan seberapa pahamnya kamu tentang materi tersebut, banyak faktor yang berperan menentukan indeks (ini bukan merupakan denial dari diri saya bahwa indeks saya tidak baik di mata kuliah ini), kemudian kita juga menyetujui beberapa hal terkadang membaca textbook tidak menjamin indeks kita lebih baik dari yang tidak membaca, karena ketika kita membaca textbook effort dan waktu yang kita keluarkan lebih besar namun belum tentu apa yang kita pelajari keluar di ujian, dan yang kita tidak pelajari tidak keluar, setiap anak yang baca textbook saya yakin pasti pernah terlintas di pikirannya ‘ini bakal keluar di ujian gak ya?’ Sebenarnya kembali lagi ke tipe belajar dari setiap pribadi, semakin kesini saya semakin menyadari saya adalah tipe pembelajar yang lambat dan visual gue cenderung lebih percaya buku dibanding ajaran orang, saya biasanya memilih untuk tidak belajar berkelompok bersama apabila saya belum membaca buku. Namun, ada teman-teman gue yang daya tangkapnya cepat, dia tidak perlu membaca textbook, tapi bisa menjalankan perkuliahan dengan nilai yang baik. Kemudian saya juga mempertanyakan kembali proporsi dari persen nilai yang diberikan oleh dosen apakah itu sudah menggambarkan perjalanan ataupun perjuangan seorang mahasiswa selama satu semester? Saya juga ingin menambahkan, saya malah mendapat indeks yang lebih baik di matakuliah bahkan saya tidak tau apa yang saya pelajari. Indeks seperti turun dari langit. Jadi, pembelajaran yang bisa saya ambil adalah memahami tipe pembelajar seperti apa saya, bagaimana agar saya bisa bersaing, dan memilih dengan tepat apakah kegiatan yang saya lakukan worth it untuk dilakukan. Sesungguhnya saya rindu masa-masa kejayaan akademik saya sebelum masuk kuliah, saat kuliah saya merasa unballance saat saya ingin mempelajari hal lain tapi akademik saya masih biasa saja. I might fall deeper, but I’ll rise higher. Kali ini gue mau cerita tentang one of my turning point experience di ITB, sebelumnya ini mungkin bukan cerita yang menginspirasi atau yang bisa membuat mata pikiran hati lo terbuka, not a story full of sacrifice, tapi ini sangat penting dalam perjalanan hidup gue, oleh karena itu gue mau share ke kalian! Selamat menikmati.
Jadi, cerita ini agak panjang makanya gue bagi-bagi menjadi beberapa fase. Fase awal masuk. Jujur ini fase yang berat untuk di lalui. Ya iya sih, ga ada fase yang mudah juga. So, the story began when I was TPB (Tahap Persiapan Bersama) which is the first year in college. Jadi, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa sistem penjurusan di ITB berbeda dengan universitas lain. Saat itu, tahun pertama, kita masih belajar mata pelajaran dasar seperti fisika dasar, kimia dasar dan matematika dasar dan belum masuk ke jurusan. And, I was having a hard time, I’ve never been like physics, I don’t understand physics at all. Like really, I don’t have any idea. Gue gangerti banget tentang konsep-konsep mendasar deh. Yang gue tau, pas UN SMA Fisika, gue dikasih kisi-kisi yaudah, gue cuma belajar dari situ and voila fisika seketika akan menjadi mudah. Gak perlu ngerti konsep buat dapet nilai nyaris sempurna di UN. And you know, di kuliah pemahaman kita tentang suatu konsep itu sangat dibutuhkan, mungkin kalian sering denger ‘di kuliah kalian bukan hanya dituntut untuk mengerjakan soal, tapi dituntut untuk mengerti dan paham konsepya sebelum kalian mengerjakan’ and its true. Like so true. And that’s why I was having a hard time. Pemahaman gue tentang fisika tuh 0 besar. Yang gue pelajarin pas SMA cuma gimana cara masukin angka-angka yang diketahui di soal terus gue operasikan sesuai rumus yang udah gue hafal di kepala. Gue gak ngerti misalnya bab optik. Yang gue paham adalah definisi dari difraksi, interferensi sama rumusnya. Gue gangerti korelasi antar mereka dan hal hal yang berkaitan dengan mereka. Menkanisme terjadinya gimana. Yes, dan kalian bisa bayangkan sendiri segimana gue khawatirnya sama fisika, gue punya phobia tersendiri tiap masuk kelas fisika pas kuliah, bahkan gue punya suatu cerita yang sedikit sedih untuk diingat. Fase quiz fisika pertama. Jadi gini, gue gak inget kapan tepatnya but it was the first month of college. Gue belom punya temen yang clique saat itu. Gue selalu duduk di depan kelas, karena mata gue gak bisa ngeliat papan tulis secara jelas kalau gue duduk di bagian belakang. Jadi, duduklah gue di depan. Dan jrengg, tiba-tiba hari itu quiz tanpa sepengetahuan mahasiswanya. Bayangin deh, gue bukan tipe orang yang belajar kalo belom mau ulangan dan at the time gue belom bisa nemuin metode belajar yang cocok sama gue, dan apa yang dosen jelasin selama sebulan pertama itu ya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. I got literally nothing. I understand nothing. Saat itu chapternya lagi bahas tentang dinamika. Kalian tau kan kalo dinamika harus bisa dibayangin. Sedangkan gue paham aja ngga, gimana mau bayangin soalnya. Dikasih lah tuh soal di papan tulis 4 nomor. Kemudian saat itu dibagi jadi beberapa kelompok dan satu kelompok isinya tiga orang. Nah, saat itu pembagian kelompoknya dibebaskan. Jadi, ya gue sekelompok aja sama kanan kiri gue. kemudian ada satu cewek kita sebut dia Siti, she seems like an expert in physics. Terus kayanya dia tau gue bego sama fisika atau dia membuat kesimpulan sendiri gue bego fisika tiba-tiba dia ngomong gini,’Udah kamu gausah ngerjain. Kamu nyumbang alat tulis sama kertas aja terus kamu salin soalnya buat nanti dikumpulin’ secara gak langsung dia ngasih sign kalo dia gak memberikan gue kepercayaan untuk menyelesaikan at least one of four questions itu. Gue langsung mau nangis saat itu juga to be honest, karena seumur-umur gue gak pernah di underestimate orang perihal akademik, like this is the first time. Sedangkan temen gue yang satunya lagi dikasih kepercayaan buat ngerjain. Yaudah gue langsung down banget hari itu. Kayanya sampe kosan gue nangis deh. Fase uts di semester 1 Yaudah selama satu semester itu gue bener-bener struggling, tiba lah uts satu di bulan oktober. And you guess what? I earned 24/100 lol. I know, it was terrible. I cried. Again. Like, this is the lowest score ever. Gue malu. Dan gak lama, tiba lah uts dua as far as I can remember I earned 40ish/100 still bad tho. Tapi naik kan secara grafik. Gue tuh saat itu masih belom sadar kalo misalnya sistem penilaian ITB (or mostly semua universitas) gaada tuh yang namanya katrol nilai. Jadi yang ada ya ada aja. Dan saat itu persentase uts 1 dan uts 2 sangat menentukan kelulusan gue di matakuliah itu, 35% uts 1 + 35% uts 2 + 10-20% praktikum + 10% quiz Jadi kebayangkan betapa besarnya persentase nilai uts 1 dan uts 2. Dan semester itu gue dapet indeks D. dan the rules are kita terancam galulus di mata kuliah itu kalo indeks kita E. sedangkan kalau misalnya nilai kita D berrati kita mendapat kesempatan buat ikut ujian perbaikan biar gak D dan maksimal C (gak bisa lebih untuk mata kuliah fisika) so, yeah gue ikut ujian perbaikan. Dan kalian tahu apa yang gue rasakan? Dari 300an mahasiswa FMIPA hanya gue dan beberapa puluh mahasiswa yang ikut ujian perbaikan. Kebayangkan rasanya sedepressed apa gue saat itu? Gue merasa bodoh banget. Parah. I feel there’s something wrong inside of me. But, I don’t know what it is. I have to find that. Fase mencari Long story short, gue mengikuti ujian perbaikan fisika dan indeks nilai fisika gue saat itu adalah C. Dan gue mulai mencari cara gimana nih masa nilai gue sejelek ini? Gue bertekad bahwa gue harus berubah gue harus find a method that suits me well. Mulailah, semester itu gue beli kaset Gyga Physics, terus ngeprint diktat dosen dan baca textbook! Gue mulai baca textbook ketika gue bertemu seorang dosen kalkulus bernama Pak Salman, sebelum pembelajaran kuliah dimulai dia selalu mewajibkan semua mahasiswanya untuk baca textbook terlebih dahulu sesuai dengan jadwal yang telah dibagikan pada silabus. Mislanya minggu ini sub bab 1.1 – 1.3 nah yaudah kita baca bab itu kemudian kita buat rangkuman dan kerjain soal-soalnya. Gue suka banget sama metode pengajaran Pak Salman yang rapih dan teratur. Cocok sama tipe gue. Cara ngajarnya juga mixed kadang pake slide kadang pake papan tulis. And he dare us to questioning every theorm that he explained. Sejak saat itu gue baca textbook, tapi gue mulai baca textbook fisika agak telat banget gitu kaya h-2 minggu ujian baru mulai baca itu juga ada banyak ketakutan. Gimana kalo misalnya gue gak ngerti? Gimana kalo gue udah spend hours buat belajar pake textbook tapi gue masih gak paham meanwhile temen-temen gue saat itu banyak yang langsung jump into the exercise. Akhirnya, gue mulai kumpulin tekad dan perasaan yang besar untuk paham secara mendalam terhadap suatu konsep.gue gak peduli temen gue langsung terjun ke soal. Gue harus ngerti dulu sebelum gue kerjain soal. Sejujurnya, banyak dilema juga saat itu. Tapi, akhirnya gue menemukan metode bahwa baca textbook itu sangat penting dan sangat cocok dengan gue yang suka belajar sendiri di banding rame-rame. Fase ujian semester dua Tapi, itu semua ga membuat gue serta merta menjadi ahli fisika. Dan, tiba-tiba udah uts 1 fisika di semseter dua. Time flies. Gue freak out, sangat-sangat freak out. Gue ngerasa sangat-sangat belum siap dan sangat banyak teori yang belom gue kuasai dari materi ujian. Kerasa beda banget kalo kalian udah paham banget sama konsep yang satu sedangkan konsep yang lainnya belom paham, dan kalian yakin kalian akan paham. Dibanding kalian udah baca semua tapi kalian gangerti-ngerti amat. Pasti kalian belajarnya seadanya dan sedapetnya. Kalo kalian punya konsep yang kalian paham banget setelah kalian reading textbook kalian pasti have the urge to finish the next concept, kalian akan lebih geregetan dibanding kalian gak tau apa-apa. Masih h-7 gue belajar dan belajar sampe h-1 gue nangis. Gue gansanggup. Like arround 2 am I called my mother but there’s no answer (kalo dipikir, iya juga ya jam 2 pagi. Who’s awake selain mahasiswa dikejar deadline?) I called her until 5 am, gue sambil belajar kondisinya. she called me back and I said,’Ma ayu gakuat mau ujian hari ini. Banyak banget materi yang belum ayu pahamin. Kayanya ayu mau izin sakit aja deh dan ikut susulan fisika nanti’. It was the b I g g e s t decision that I’ve ever been made. Banyangin deh, uts itu crucial banget sifatnya dan gue berani-beraninya gak siap buat ujian dan malah milih buat ikut ujian susulan which is itu di barengin dengan ujian perbaikan di akhir semester nanti yang hanya diperuntukan bagi siswa yang indeksnya D atau E. Setelah gue ngejelasin ke nyokap. Akhirnya nyokap gue bilang terserah dia mensupport kondisi mental gue saat itu. Setelah selesai nelfon gue nanya temen gue yang pernah ikut susulan pas sesmeter 1 dulu gimana mekanisme izin gamasuk dan semacamnya. Tapi, dia gak bales dan saat itu akhirnya gue ketiduran karena belom tidur dari semalem. Otak gue kacau banget sampe gakbisa tidur dan momennya saat itu adalah belajar buat uts. Gue bangun jam 7, dan bodohnya arround 7 am gue baru tau kalo ikut ujian susulan fisika itu nanti materinya adalah gabungan semester 1 dan 2. Bego. Materi yang gue pelajari justru jauh lebih banyak. Gue mengambil keputusan yang salah. Gue mikir seandainya aja gue ganyerah dan tetap belajar. Gue masi punya waktu dari jam 2 pagi sebelum ujian jam 9 pagi. Gue bego banget. Banget. Banget. Gue kesel sama diri sendiri, gue nangis lagi. Padahal siangnya gue ada ujian matakuliah lain juga dihari yang sama. Again, long story short gue bertekad gue tiap minggu harus udah mulai nyicil materi untuk ujian susulan diujung semester nanti. Tapi, apa daya. Rencana selalu tidak mulus. Rutinitas segitu aja udah nyekek waktu banget dan gue juga masih belum maksimal memperjuangkan karna di otak gue ‘ah masih lama’. Tapi buat uts ke 2 gue ngerasa belajar lumayan maksimal dan lumayan pake konsep walaupun waktu belajarnya sedikit banget karena banyak mata kuliah lain yang sibuk banget saat itu. And finally I passed the second exam. And I got 60ish/100. Dan nilai segitu saat itu udah termasuk bagus karena teman-teman gue yang gue angap ‘pintar dan mumpuni’ dalam bidang fisika juga dapet nilai 60-70 ish. Fase ujian susulan Setelah melalui ujian kedua disaat orang lain gak perlu belajar lagi fisika gue masih ada ujian susulan fisika di akhir dan nyari waktunya buat belajar bener bener susah banget. Banget. Dan, gue dapet jadwal ujian susulan tanggal 17 an dan tanggal 15 gue ada ujian mata kuliah lain. Like fuckin two days! Gue sanggup belajar apa materi dua uts dalam satu hari? Akhirnya gue mengorbankan beberapa hari waktu belajar untuk ujian mata kuliah lain jadi untuk mata kuliah fisika. Gue cuma belajar dari soal uts 1 dan uts 2 dan pembahasan. Bener-bener dari dua soal itu doang. Tapi, untungnya adalah gue udah paham sama konsep-konsep di materi uts 2. Jadi gue mantepin konsep di materi uts 1. Dan soalnya susah banget. Beneran. Susah banget. Sampe temen gue yang ikut uts 1 aja bilang,’Anjir mending lu ikut ujian satu aja daripada lu ikut susulan soalnya susah banget’. Tapi untungnya lagi adalah gue udah punya nilai BC di tangan karena uts dua gue 60ish itu tadi. Jadi, gue gak mungkin gak lulus. Kalau dipikir-pikir, pas semester satu, gue ikut 2 ujian tapi indeks gue D, sedangkan pas semester dua, gue ikut 1 ujian tapi indeksnya udah BC, jadi kebukti banget kan gimana textbook membantu gue, gimana paham konsep itu penting banget. Dan akhirnya gue melewati semua hal yang berbau fisika. Kemudian nilai gue muncul di rapot ol akademik. Gue meraih indeks nyaris sempurna setelah nilai uts 2 dan uts fisika gue di akumulasikan untuk mata kuliah fisika. Beberapa waktu lalu gue pergi ke pasar tradisional di daerah Jakarta Barat, namanya pasar kopro, saat itu gue ngeliat antrian panjang banget dari salah satu toko buku disitu. Setelah gue telusuri ternyata itu adalah antrian untuk mencairkan dana KJP (Kartu Jakarta Pintar), which is itu melanggar aturan. Karena dana KJP itu tidak bisa dicairkan secara tunai tapi harus ditukar atau dengan kata lain di belanjakan dengan barang di toko yang memiliki mesin gesek EDC atau jaringan prima. Semua benda ataupun fasilitas yang bisa dilakukan melalui KJP tertera dengan jelas di sini. Menurut hasil tanya-tanya kepada ibu-ibu disitu ternyata toko tersebut membuka jasa pencaran dana KJP dan toko tersebut memperoleh dana sebesar 30% dari total dana yang diterima pemegang kartu KJP, lumayan juga kan. Besar dana yang diterima perbulan dan secara berkalapun sudah tertera jelas pada website KJP. Berdasarkan aturan yang berlaku atau tata cara yang seharusnya, setiap dana KJP yang dibelanjakan harus tercatat dan ada laporannya kepada pemerintah. Disitulah letak kecurangan mereka, mereka memanipulasi laporan-laporan palsu yang kemudian di setor kepada pemerintah.
Kemudian gue bertanya kenapa ya ko bisa seperti ini? Awalnya gue sempat berpikir mungkin memang tidak setiap bulan pelajar Indonesia membeli buku baru, tas baru dan sebagainya namun kenapa dana yang dikucurkan harus selalu ditukar dengan barang? Lantas bagaimana dengan kebutuhan yang lain? Sepengalaman gue yang telah melewati bangku di sekolah dasar dan sekolah menengah gue beli tas terkadang hanya setahun sekali, alat tulis juga paling hanya satu semester sekali. Tapi, kemudian gue berpikir ulang ini kan Kartu Jakarta Pintar yang fokusnya hanya mengurusi hal hal yang berbau dengan pendidikan, sesuai dengan tujuan awal yaitu peningkatan pencapaian target Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan dasar dan menengah. Ditambah lagi fakta bahwa sekolah dasar dan sekolah menegah negeri digratiskan khusus untuk daerah Jakarta, kecuali untuk sekolah swasta, namun berdasarkan website KJP dana KJP juga bisa dibayarkan untuk Sekolah Swasta yang terdaftar pada sistem KJP. Jadi apabila ditinjau dari sisi tersebut sebenarnya KJP telah memenuhi tujuannya sebagai pemenuhan kebtuhan fasilitas pelajar Jakarta. Jadi, efektifkah sistem KJP yang sekarang untuk meningkatkan pendidikan di Jakarta? Tulisan ini gue dedikasikan untuk kota kelahiran, Jakarta, bertepatan di hari ulang tahunnya yang jatuh pada hari ini! Dirgahayu, Jakarta. Baihajar Tualeka. Beliau adalah kartini modern bagi saya. Sosok yang berasal dari kota yang terkenal karena konflik antar sukunya yaitu Ambon. Baihajar Tualeka atau biasa orang Ambon memanggilnya Mama pernah terlibat dalam konflik Muslim dan Kristen, Mama mengaku pernah terlibat dalam pembuatan bom molotov bagi kelompok Muslim. Kata Mama dulu umat Muslim dan Kristen seringkali bertengkar dijalan, saling melempari batu, ratusan rumah baik rumah Muslim maupun Kristen habis terbakar. Saat itu Mama percaya bahwa mati membela agama akan memuat seseorang masuk surga. Sampe pas Mama ngeliat sendiri seorang lelaki yang dipukul sampai mati oleh umat agama lain. Sejak saat itu mama mempertanyakan kenapa manusia baik laki-laki maupun perempuan harus membunuh satu sama lain atas nama agama? Kemudian Mama punya keinginan untuk mengakhiri konflik di Ambon. Mama jenuh sama semua konflik yang terjadi di tanah kelahirannya sendiri. Mama pengen ngubah cara pandang masyarakat Ambon tentang perbedaan. Kemudian Mama membangun pemahaman tentang perdamaian bagi kaum perempuan dan anak kecil dengan mendirikan komunitas Peace Camp. Mama juga percaya bahwa perempuan adalah pelaku ekonomi keluarga. Mama juga bilang bahwa proses proses perdamaian atau rekonsiliasi sangat efektif kalau disuarakan oleh perempuan. Terbukti di Ambon banyak sekali pasar yang hancur akibat konflik kemudian dibangkitkan lagi oleh kaum perempuan. Mama juga pernah memperoleh penghargaan Indonesian Women of Change Award dari Pusat kebudayaan @america. Komunitas yang mama dirikan berhasil memfasilitasi pendidikan dan diskusi antara komunitas Islam dan Kristen di wilayah untuk mempromosikan perdamaian. Dari lubuk hati paling dalam saya, saya menyatakan kekaguman saya untuk Mama❤ #beforeaprilends. #iknowitslatebutmamainspiredmesomuch #kartinisday Ya, benar. Gue memang sekalap itu waktu mendaftar UKM. Banyak sekali motivasi dibelakang gue mendaftar berbagai UKM tentunya. UKM atau unit kegiatan mahasiswa atau yang biasa disebut ‘unit’ saja oleh mahasiswa di kampus gue itu sama seperti kegiatan non akademis kalo di SMA mungkin familiar dengan eskul. Gue mau cerita dulu deh gambaran unit di ITB tuh gimana. Menurut gue agak beda sih. Kalau dulu gue SMA. Setiap mau daftar eskul ya tinggal daftar aja. Kapan aja. Bisa pas awal semester, tengah semester, awal semester atau seperempat semester pokoknya gak ada harinya kapan aja lo bisa daftar. As long as, lo masih bersekolah di SMA tersebut. Ya, kecuali kalo udah kelas 3 SMA. Tapi, bedanya disini adalah pendaftaran cuma dibuka pertahun. Hampir semua unit. Jadi, lo nggak bisa deh tuh kalo tiba-tiba daftar di tengah gitu. Jadi mungkin itu salah satu alasan gue. ‘Daripada harus nunggu tahun depan, mending daftar-daftar dulu aja kalo gak cocok keluar.’ Pola pikir gue seperti itu. Silahkan nilai sendiri pola pikir gue. Selanjutnya, perbedaan yang gue alami selanjutnya itu kaya hampir semua unit itu punya masa kaderisasi. Apa itu masa kaderisasi? Mungkin sebagian dari lo udah familiar sama ini dan mungkin ada yang belum juga. Gini-gini gue jelasin jadi kita pas daftar gak langsung jadi anggota unit tersebut. Melainkan kita harus melewati masa-masa kaderiasi. Bahkan 5 bulan gue di ITB gue masih menyandang predikat Ca- atau Calon. Jadi belum resmi jadi anggota. Bisa aja gue gaketerima di unit unit tersebut. Jadi misalnya gini anggap aja gue ikut unit paskibra. Walaupun disini gaada unit paskibra ya tapi let’s assume gue daftar paskib. Nah, gue harus melewati masa masa yang namanya PPAB (Proses Penerimaan Anggota Baru) kalo gak salah kepanjangannya itu, ya kurang lebih tiap unit namanya PPAB. Nah, masa PPAB ini relatif banget di semua unit. Ada yang 6 bulan. 4 bulan. 2 bulan doang pun ada. PPAB itu ngapain sih? Jadi, di PPAB kita bakal dikenalin dulu tuh sejarah unit, tujuan unit dst. Terus, biasanya kita bakal dikasih tugas. Tingkat kesusahan tugasnya juga tergantung unitnya, ada yang cuma disuruh bikin buku angkatan dan foto selfie bareng 100 anggota, ada yang disuruh bikin pementasan perdana dulu (kalo misalnya lo ikut unit seni biasanya), ada yang disuruh wawancara, bikin makrab angkatan, pelatihan-pelatihan awal dulu kaya misalnya lo ikut unit memanah nah lo diajarin dulu deh tuh teknik memanah tapi belom pake panah beneran, atau lo ikut unit renang ya lo diajarin deh basic-basic renangnya dulu. Kalo lo ikut unit radio kampus lo ada tugas buat siaran dulu gitu. Pokoknya banyak banget ragamnya. Malah ada, beberapa temen gue yang ngerasa kadang tugas unit dia sama tugas kuliah lebih banyak tugas unit. Suka sampe ada yang bilang suatu unit kaya ibadah saking seringnya, contohnya kaya MBWG (Marching Bandnya ITB). Nah, selama lo mengikuti masa PPAB lo masih menyandang gelar Ca- atau calon. Kalo lo paskib ya Ca-Paskib dan sejenisnya. Jadi, lo belum menjadi anggota resmi. Dan selama itu biasanya kakak tingkat lo bakal menilai deh kinerja lo. Apakah lo layak menjadi anggota unit ini. Setelah mengikuti PPAB atau masa kaderisasi. Nanti bakal ada pelantikan jadi anggota baru. Sistem pelantikannya juga super beda-beda. Ada yang ke hutan-hutan kalo misalnya unit lo emang pecinta alam gitu. Ada yang cuma seru-seruan nginep di villa bareng. Pokoknya beragam. Biasanya, angkatan lo bakal di evaluasi dulu. Terus baru deh dilantik. Proses penyaringannya juga beda-beda. Ada yang langsung secara tegas dikeluarin dari awal kalo lo emang ga memenuhi persyaratan jadi pas ikut acara pelantikan udah pasti dilantik. Ada yang sampe akhir baru ngeluarin surat pernyataan dan baru ketauan kalo misalnya yang dilantik cuma sekian. Ada yang semua anggotanya pasti di lantik. Terus, udah capek-capek ngelewatin itu semua. Lo bakal di lantik dan dapat identitas baru. Biasanya, masing-masing unit punya jaket unit. Ini sih yang biasanya bikin anak-anak semangat. Walaupun gak semuanya ngeluarin jaket. Ada juga yang kemeja atau id card. Pokoknya gitu. Ada juga yang gak punya identitas apa-apa. Persetan dengan identitas katanya. Contohnya. Unit tiben konon katanya anak tiben sejati harus di kenali dari pemikirannya dan perilakunya, gak perlu identitas tambahan. Asik banget gak tuh. Ohiya di kampus ini unit juga dibagi menjadi bebebrapa kategori rumpun, ada rumpun olahraga, rumpun kajian, rumpun pendidikan, rumpun agama, rumpun seni dan budaya serta rumpun unit media. Masing-masing unit juga ada basecampnya kaya kita dulu SMA gitu cuma kalo disini disebutnya sekre cara sederhana nyebut gedung sekretariat. Dan yang gue rasa agak berbeda sama temen-temen gue di kmapus lain itu mereka tiap gue tanya ‘eh lo ikut ukm apa dikampus?’ rata-rata mereka memisahkan antara ukm di jurusan, fakultas dan tingkat universitas. Misalnya jawabannya kaya gini,’Di tingkat apa nih? Kalo tingkat univ gue gak ikut apa-apa tapi kalo tingkat fakultas gue ikut teater.’ Contohnya gitu. Sementara, sepengetahuan gue sejauh ini unit di ITB ga dikategorisasi kaya gitu ya unit A atau B atau C berlaku untuk semuanya gitu.
Terus sekarang gue mau ngasih first impression 10 unit yang udah gue daftar walaupun gak semuanya gue jadi anggota, udah keluar duluan. Gue mulai dari yang gue memutuskan keluar dari unit itu sampe yang masih gue pertahanin ya hehe. Unit Kesenian Minangkabau ITB (UKM) Gue ngasih tau alasan gue masuk unit ini dulu kali ya, alasan gue sesederhana karna gue buta budaya Indonesia dan I want to learn something new, something that I never give a shot before, I want to learn the culture where I live in, ya di Indonesia. Dan kenapa milih Minangkabau instead of kebudayaan lain? Gue sempet bingung sih antara milih Minangkabau, Betawi (suku asli gue) atau Jawa (gue teratarik belajar gamelan dan tari jawa) gue juga nggak tau alesannya apa sampe sekarang haha. Kaya ya daftar-daftar aja. Pertama kali gue datang, pas perkenalan hampir semuanya itu emang yang asalnya dari anak-anak Riau yang kuliah di ITB. Sejujurnya gue semakin tertarik untuk belajar lebih jauh. Tertarik banget. Tapi, gue hanya sempet datang pertemuan perdana. Dan kenapa gue keluar? Sesederhana karna gue emang harus banget ngurangin jumlah unit gue. Gak mungkin gue ikut 10 unit. Dan gue pikir mungkin nanti setelah lulus guemasih punya kesempatan belajar kebudayaan Indonesia. Semoga ya nanti. AIESEC Karena aiesec ini hampir ada di semua tempat perkuliahan jadi nanti buat lo yang belum tau aiesec itu apa bisa banget nih langsung googling aiesec. Biasanya hampir tiap kampus ada kok. Jadi, aiesec itu adalah program yang menawarkan kalian untuk melakukan suatu project sosial yang cakupannya Internasional yang mana kalian akan menjadi seorang relawan/volunteer selama kurang lebih 6-8 minggu di salah satu dari 126 negara yang tergabung dalam AIESEC. Alesan gue keluar ini karena biaya sih hehe. Gue kira awalnya aiesec itu dibiayain kampus haha nggak tau nya engga. Yaudah deh gajadi. Ya, kalo di biayain sih gue mau-mau aja. Ganesha Model United Nations Club (GMUNC) Hampir sama kaya aiesec, MUN tuh hampir di semua perkuliahan ada gak sih. Di sini lo kaya belajar debat simulasi PBB gitu. Dan bakal ngelatih skill English lo, skill debat lo ya pokoknya seputar itu. Gue juga bingung sih gue sampe di invite ke grup ITBMUN’s Venue Committee, itu kaya divisi yang jobdescnya venue dan acara. Padahal nih ya, gue gak pernah ngerjain tugas kaderisasinya MUN kaya bikin essay pake English (tugas awal MUN). terus gue juga gak pernah dating pertemuan. Karena selalu bentrok. Dan gue Taunya selalu mendadak. Dan gue selalu gak bisa. Tapi, buat lo yang mau focus. Ini recommended banget. Dan bisa dibilang MUN kaya unit yang membutuhkan biaya sih. Soalnya kadang untuk simulasi itu sendiri biasanya kan nyewa ruangan hotel dan lo butuh pakain formal gitu. Unit Renang dan Polo Air (URPA) Alesan gue ikut ini adalah karena tahun sebelum gue di ITB itu ada mata kuliah OR yang isinya renang dan lari. Ya, jadi kaya wajib bisa renang biar dapet nilai bagus. Sementara gue gak ada skill renang sama sekali. Even, renang gaya ngapung di tempat aja gabisa. Yaudah, akhirnya gue daftar demi ip olahraga yang mendingan. First impression gue ke unit ini, unit ini termasuk yang tugasnya banyak sih. Dan dulu ada grading dulu gitu. Grading itu kaya test kemampuan renang kita masuk ke yang ahli renang, bisa renang, atau gak bisa renang intinya sejenis itu untuk kemudian di bagi-bagi lagi. Jaket unit ini keren designnya! Kayanya cuma itu sih first impression gue. Gue memutuskan keluar karena ternyata tahun gue mata kuliah olahraga udah nggak ada renangnya lagi. Hanya tersisa lari aja haha. Rezeki buat orang-orang yang gak bisa renang kaya gue. Dan selain itu juga di ITB ada yang namanya LRG (Les Renang Gratis) tanpa harus ikut organisasinya. Kalo di URPA kan lo harus ikut organisasinya, ngerjain tugasnya dll. Unit Panahan Pasopati ITB Ini unit yang menurut gue keren banget dari semua unit yang gue daftar. Dan seneng aja di kampus ada unit ini karena harga panahan itu sendiri kan mahal haha tapi kalo ikut unit itu kita gak harus beli bisa pinjem. Alesan gue itu sih mau ikut unit olahraga yang jarang dan gak capek-capek banget dan ngelatih fokus juga kan. Pasopati termasuk unit yang sibuk banget pas masa kaderisasi. Tiap minggu bisa 2 hari latihan, kaya sabtu dan minggu. Dan ada tugas buku angkatan. Waktu itu juga gue pernah dapet tugas nyari karet ban gitu buat bikin tiruan panahanya. Alesan gue keluar adalah karena sering banget bentrok sama unit unit lain. And I can’t handle the chaos anymore. Akhirnya dilepas deh. Sayang banget si. Gue termasuk orang yang pengen banget explore segala sesuatu hal dan akhirnya susah focus di satu jenis. Kelemahan gue itu. Buat kalian yang mau focus di satu unit kayanya pasopati recommended buat ditekuni. Kelompok Studi Ekonomi dan Pasar Modal (KSEP) Gue join ini karena emang sudah sejak sma gue selama 3 tahun ikut lintas minat ekonomi dan emang tertarik banget sama ekonomi. Menurut gue kebutuhan pengetahuan tentang ekonomi itu seharusnya dijadikan alasan untuk menjadikan economic or finance sebagai pelajaran basic di setiap sekolah. Karena ekonomi penting banget buat di pelajari menurut gue. Selain ekonomi seharusnya sekolah sekolah di Indonesia juga mengajarkan mata pelajaran sex & relationship karena itu juga penting banget. We should learn about that since we realize that we’re not so little anymore. We were growing up. We’ll become adults and we have to know every part of our body including our sexual organ and so on. And how to build relationship with others. Nah, KSEP ini di masuk rumpun pendidikan ya jadi sama aja kaya lo ambil mata kuliah ekonomi tapi dengan cara yang lebih fun karena yang ngajar dari kating-kating dan kadang dari narasumber yang bersangkutan. Dan lebih spesifik tapi gak mendalam. KSEP di mata gue adalah unit yang lumayan terorganisir sih diliat dari segala sisi. Baik dari kating-katingnya, programnya, jadwal pertemuannya, tugasnya juga hehe. Awal masuk itu dulu kita belajar pasar modal itu apa dan komponen-kompomem lainnya. Terus setiap pertemuan sewaktu masa kaderisasi itu biasanya akan ada tugas resume. Waktu awal tugas resumenya boleh dibikin dengan tiga jenis, essay, video atau infografis. Terus di KSEP juga ada tugas bikin buku angkatan gitu. Isinya ya biodata kating dan teman-teman angkatan kita ditambah foto selfie bareng mereka. Ini lumayan menguras waktu si hehe. Tapi seru. Dan kenapa gue keluar? Haha karena gue gak lolos seleksi. Jadi, terakhir seetlah ada makrab angkatan. Ada yang namanya tes tertulis. Nah, karena at the moment unit gue banyak dan gak fokus di KSEP aja, gue beberapa kali skip pertemuan. Akhirnya ada materi yang kelewat (lumayan banyak sih) dan gue gak bisa jawab. Akhirnya gak lolos deh. Studi Teater Mahasiswa ITB (STEMA) Gue udah pengen banget ikut teater sejak SMA. Tapi, entah gue lupa alasan apa yang membuat gue tidak daftar SSD 78 (Sanggar Seni Drama 78) akhirnya pada kesempatan yang kampus gue kasih. Gue akhirnya memberanikan diri daftar teater. Gue gak ada pegetahuan dasar apapun tentang teater haha. Dan alesan gue ini karena gue mau belajar banyak hal. Anak-anak di STEMA hampir semuanya extrovert dan yang flexible heboh-heboh gitu jadi gue juga belajar gimana sih buat nge-approach orang yang tipe-tipe kaya mereka. Dan yang menarik dari STEMA ini, ya mungkin karena teater kampus kali ya kalo sebelum pentas emang harus research mendalam banget. Jadi seru dan dapet banyak info baru. Kaya misalnya di suatu pementasan ada sebuah raja dari kerajaan A pake pedang nah kita harus research dulu pedang pada masa itu dan di daerah itu bentuknya gimana. Cara megangnya gimana and lot of details. Bedanya dari teater di SMA, teater di kampus jauh lebih filosofis dan genrenya lebih beragam. Mungkin kalo di SMA lebih dominan realis. Dan gue masih bertahan sampai saat ini. Sempet mau keluar karena kalo mau ngadain pementasan gue bisa balik jam 12-an malem demi untuk latihan selama seminggu haha. Makan waktu? Banget. Lingkar Sastra (LS) Gue gak pernah kepikiran mau daftar ini sih pada awalnya. Karena di kampus gue mau menjejali dunia yang gue anggap baru. Sedangkan sastra itu sendiri (menurut pemikiran kuno gue bisa learning by doing) sampai pada akhirnya tiba-tiba gue diajak temen gue buat dateng pertemuan perdana dan it was soooo fascinating like I met so many people who had the same interest and they were so amazing. I felt so dumb at that moment. I know nothing about literature. Jadi, di pertemuan pertama itu kita diminta untuk membawa buku. Gue lupa buku favorite lo atau buku yang sedang lo baca dan mendiskusikannya! Kita duduk buat lingkaran gitu sambil nunjukin dan mendiskusikan buku yang kita bawa. Gila sih seru. Terus ada yang baca puisi dan lain-lain. Di lingkar sastra juga ngadain yang namanya Antologi Rasa (buku yang dibuat sama anak lingkar sastra setiap tahunnya) dan buku ITB Nyastra (wadah untuk umum). Dan gue masih bertahan di unit ini. Karen paling santai gitu haha. Dan katanya semua yang daftar dan mau lanjut bakal di lantik. Majalah Ganesha-Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik (MG-KSSEP) Sumpah, pada awalnya I have no idea what this club was doing. Gue mikirnya sangat pendek. Ada ekonomi dan politik. Ada majalah. Yaudah simpulkan sendiri. But it turns out, gak kaya gitu. Gue hampir baru mengenal unit gue ini setelah ada tugas buat mengkritik unit ini dan gue research gitu. Jadi unit ini bisa dibilang unit kritiknya ITB. Gue disini nemuin orang dengan pemikiran-pemikiran out of ordinary. I fall in love with people’s mind (I know it’s cliché, but it’s real. Gue mengalaminya) dengan semboyan unit ini ‘Salam Pembebasan’ buat lo yang mau punya temen diskusi yang out of ordinary. You have to join this club. No doubt. Eventhough, di luar sana banyak yang bilang kalo unit ini banyak atheistnya. Salah. Salah besar. Don’t believe in stereotypes. Just don’t. That's all and if you guys have something to ask let's just ask me via dm instagram or anything. i'd love to answer your question! Xx Jalan-jalan ke pantai yang keren banget yaitu pok tunggal dan jalan-jalan ke dieng. Gue mendapatkan itu setelah gue kuliah di Jogja. (Fahrel Y. R – Ilmu Hukum, UGM) Jadi kontingen departemen dan ngerasain serunyaa suporteran. (Vanny T. W – FMIPA, UI) The interaction night i and my friends made. Both the process and the night itself. (Charlotte – Teknik Metalurgi, UI) God, satu semester ini isinya pengalaman terbaik semua. Semuanya jadi pengalaman pertama dan seru banget. Tapi kalo harus pilih satu, gue pilih bagian dimana gue dapet kesempatan buat kenal berbagai orang di kampus, mereka sangat menginspirasi, dan itu kesempatan terbaik yang sangat gue syukuri. (Avyandra – FTI, ITB Display tugas. Mata kuliah apapun itu saat display, itu kayak proses finishing dimana harus mengerahkan segenap tenaga buat jelasin maksud karya kita agar dimengerti, jelasin prosesnya, konsepnya, tahan lama atau ngga, cara kerjanya. Belum kalo dikasih pertanyaan ini itu sama dosen yang semacam disanggah, huhu mental fisik harus kuat menjelang display-display itu. (Amanda Pragita – Arsitektur, UGM) Pengalaman gue saat jadi salah satu kontingen film buat UIAW (UI Art War) berkesan banget sih. Mulai dari upgrading, survey lokasi buat film, sampe shooting di wilayah menteng dan balik nyampe ke kampus lagi jam set 1 malem haha gila emg, tapi terbaik. Oiya ada lagi! Gue kemarin juga ikut bakti sosial gitu ke satu sd dan mengadakan berbagai macam intervensi ke anak-anak sd. Ya, walaupun ini emang acara wajib fakultas karena masih bagian dari rangkaian ospek, but pengalamannya lumayan banget, untuk ngerasain terjun langsung ke tengah masyarakat dan membagi ilmu dengan mereka. Pokoknya, pengalaman-pengalaman selama semester lalu menyadarkan gue kalo softskill itu perlu dan berguna banget, kuliah bukan cuma di kelas. Belajar bisa di mana dan dari mana aja, ya tapi tetep sih harus mikirin ip hahahaha. (Novandari Puspaningtyas – Kesehatan Lingkungan, UI) Wandering around Bandung, still strange yet a lovely town. (Nadiyah R. – FTMD, ITB) My best experience was getting acknowledgement from the seniors or the lecturers. Well, it's not that big of an 'acknowledgement' though, it was just a small praise, or a good score for my assignments (Ghina R. - FSRD, ITB) I've learned about how to use your time effectively, how to become a good learner, and how to overcome academic and non-academic problems. I get those things from my class, friends, lectures, and personal experience. (Dimas Nabil - FTSL, ITB) My very best experience was the whole thing of college from trying to adapt to a whole new college family, meeting a lot of friends outside Jakarta, tryna learn their native languages, getting used to the term of "akang" and "teteh", hearing words such "aing", "maneh", "asa", "geleuh, "ceunah", and so on. Hehe. Also to push myself to be braver. So basically my best experience was to dive in to the new way of life. (Ghina Salsabila - FKG, Unpad) So there's an exhibition for architecture and interior architecture's work for the whole semester and i was the PIC for decoration and nooo it's not mere "decorating". Though i have a heap of responsibilities, it's fun. The experience was adulting i'd say if that makes sense. (Zelika Razna - Arsitektur Interior, UI) Discussing with my friends from other faculties about what and how we want to change Indonesia is surely one of my best experience. This discussion happened during my campus orientation weeks. Even though we haven't started studying in college yet at the time, it is really amazing how their arguments already represents their major. (Amira Maitsa - FK, UGM) Feeling that you are now a college freshman, that everything you do now can affect your future. (Rahmanto Tyas - SBM, ITB) My best experience in this first semester is my class. my class consists of 23 people so we're pretty close, and we meet like almost everyday, for five days a week. you can say that they're my first friends in university. (Kamila Marwa - Pertanian. Agroteknologi, Unpad) Gimana? Sejujurnya, gue sangat seneng sih dengan respon temen-temen gue yang sudah mau meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan gue. and it is soo interesting, isn’t it? To learn from somebody perspective or their experience for almost 4-5 months. Kalo misalnya ada pertanyaan atau kritik bisa langsung comment atau tanya gue langsung secara personal. I’d love to see your feedback! Xx
|